(Click here for English or other languages)

Ditulis oleh Dila*

Dua bulan di tempat PKL ini, cukup sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat. Mengapa saya mengatakan beradaptasi di tempat ini cukup sulit, karena sekeliling saya semuanya beragama Islam, saya sedikit sulit untuk berkomunikasi dengan tetangga saya. Karena saya, dari kecil, hidup besar di lingkungan yang beragama Kristen. Saya memang memiliki teman yang beragama Islam, namun untuk tinggal berdampingan agak sulit, karena dari keluarga saya, bisa di katakan Kristen fanatik.

Saya sedikit bercerita tentang kehidupan keluarga saya, dimana salah satu orang yang saya sangat sayang, yakni om kandung saya, dia sejak berusia remaja, memilih untuk Mualaf (pindah agama dari Kristen ke agama Islam) dan hal tersebut memicu timbulnya pertengkaran dalam keluarga karena tidak setuju. Namun setelah keputusannya itu, om saya menghilang dalam waktu yang cukup lama; dan ketika dia kembali, dia seperti di jauhi, di kucilkan oleh keluarga karna beberapa hal. Namun tidak memutuskan tali persaudaraan. Tahun 2021om saya memutuskan untuk Murtad, yaitu kembali ke agama asalnya, dari Islam kembali Kristen– tanpa paksaan dari pihak manapun. Saya juga bahagia karena bisa menyampaikan Injil kepada om saya. Dan dia dibaptis dan seminggu setelah dia baptis, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Dan dari om saya ini, saya merasa bahwa apakah saya bisa menghadapi orang-orang yang sama dengan om saya sebelum dia kembali Kristen. Sayapun dulunya tidak menyukai om saya, tidak bisa menerima kalau dia berpindah agama ke Islam.

Awal saya tiba di tempat ini pada bulan Desember, saya merasa dejavu (kembali teringat kejadian dimana om saya masih beragama Islam dan saya benci itu) dan banyak hal yang dapat saya belajar baik dari supervisor saya sendiri. Beberapa minggu sebelum memulai membantu mengajar di House of Hope, saya belajar banyak hal tentang pelayanan kontekstual[1] dan lebih meluas dan dari saat itulah saya merasa Tuhan mengubah cara pandang saya. Memang selama saya kuliah Teologi, saya belajar kontekstual dan saya juga memiliki cita-cita untuk melayani kontekstual, namun tidak sedetail yang saya pelajari bersama supervisor saya. Di tempat ini pun saya merasakan pelayanan kontekstual yang lebih nyata. Ini sungguh merubah pola pikir saya, dan juga saya belajar dari tetangga-tetangga sekitar dan anak-anak. Jujur, saya memang menyukai anak-anak, jadi tidak terlalu sulit untuk saya dapat bergaul dengan mereka. Dan melalui anak-anak inilah menjadi pintu masuk untuk saya dapat berkomunikasi dengan orang tua mereka dan tetangga di sekitar saya.

Saya juga banyak belajar dari Tuhan Yesus, dimana Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya bahkan sejak Dia lahirpun, bukan di tempat yang mewah, bukan dari keluarga terpandang. Saya belajar untuk mengasihi saudara-saudara saya di tempat kumuh ini, yang mungkin menurut beberapa orang, tempat ini tidak layak, tempat ini sangat kotor (tempat pembuangan sampah) dan beberapa orang menganggap pekerjaan di tempat ini paling hina dan rendahan (pekerjaan mereka sebagai pemulung, pengamen), bahkan banyak anak-anak yang putus sekolah karena kendala dengan biaya sekolah. Dari anak-anak itu mereka membantu keuangan keluarga mereka dengan mengamen dan menjadi manusia silver. Di sini saya melihat bahwa Tuhan Yesus ada bersama mereka. Ternyata Tuhan Yesus bukan hanya ada di tengah-tengah orang Kristen, tetapi juga ada ditempah kumuh, ada di tengah-tengah saudara-saudara di tempat ini. Saya diajarkan untuk memandang mereka dengan kasih Tuhan Yesus, memandang mereka sebagai saudara yang di kasihi Yesus, tidak menjauhi mereka.


[1]     Kami berusaha melayani secara “kontektsual”. Di kontekts kami, kami menghormati tetangga kami dengan menghindari makanan haram (babi dan anjing) dan minuman keras. Kami tidak menghias rumah kami dengan gambar Tuhan Yesus atau salib. Kami berusaha memakai bahasa yang lebih bisa dimengerti oleh tetangga kami: “Isa Al-Masih” [Tuhan Yesus], “Siti Maryam” [Maria], “Ibraham” [Abraham]. Kami sebut diri kami sendiri, “pengikut Isa Al-Masih.” Kami juga memakai Alkitab kontektsual dengan teman-teman kami di sini—(terjemahan Shellabear ©1912 dari LAI )yang memakai istilah-istialah dan nama-nama yang lebih mudah dimengerti oleh teman-teman Islam. Kami belajar berdoa dengan mata dan tangan terbuka. Kami mengucapakan “Assalamualikum,” dlsb.

Baca 1 Korintius 9:20-22 dari Rasul Paulus.

Untuk baca lebih lanjut tentang ini silahkan lihat website ini: https://www.frontlinemissions.info/the-c1-to-c6-spectrum