By Rahma in Indonesia (Read in English or other languages)
Siang itu merupakan hari yang biasa saja bagi kami. Kami baru selesai mengajar di House of Hope, anak-anak baru saja pulang, dan saya dengan beberapa guru lain sedang membersihkan sekolahnya. Tiba-tiba saya mendengar salah satu teman kami berteriak: “Hey, jangan masuk kesini!!” Sambil memegang sapu dan mengancam.
Orang yang diancam itu adalah Agung. Dia masuk di pelataran sekolah kami. Agung adalah seorang laki-laki yang tinggal di komunitas kumuh ini, ia mengalami gangguan jiwa namun tidak pernah mendapatkan perawatan. Orang sering menyebutnya sebagai “orang gila” saja. Saya dan suami sudah mengenal Agung begitu lama, mungkin sekitar 9 tahun. Sebelumnya ia tinggal di rumah yang sangat bobrok di pinggir kali bersama neneknya yang tua yang merawatnya sejak kecil. Beberapa tahun lalu neneknya meninggal dan ada orang yang mengambil rumah dan tanah dimana mereka tinggal saat itu, sehingga sekarang Agung tinggal di jalanan.
Kami ingat beberapa waktu lalu kami sering main kerumahnya, mengunjunginya bersama neneknya. Suamiku beberapa kali bermain kartu domino bersama Agung, dan seringkali melihat Agung mendengarkan radio rusak yang sangat dia suka.
Teman-teman di lingkungan kami banyak yang tidak terlalu kenal dengan Agung termasuk guru-guru di sekolah kami yang masih baru di lingkungan ini. Mereka hanya mengenal dia sebagai “orang gila”. Mereka hanya mengenal Agung sebagai orang yang selalu terlihat jelek, bajunya lusuh, kotor, bau, dan tidak punya rumah. Jadi wajar jika teman kami merasa terancam dan takut akan kehadiran Agung. Tetapi waktu saya melihat Agung buru-buru saya mengatakan: “Tenang, itu Agung! Dia tidak berbahaya.”
Saya mendekati Agung dan bertanya: “Kenapa Gung?” Dia tidak menjawab. Dia hanya menunjukkan kakinya yang sedang sakit dan bengkak. (Dia sering ke rumah kami untuk meminta obat jika sedang sakit)
Saya memanggil suami untuk berbicara dengan Agung, tetapi mulutnya tetap bungkam dan hanya menujukkan kakinya yang bengkak dan begitu kotor.
Suamiku berlutut dan mulai mencuci kaki Agung untuk membersihkannya dari kotoran. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan kakinya, sehingga suamiku hanya membaluri kaki Agung yang sudah ducuci dengan balsam, dan memberinya Panadol untuk menghilangkan rasa sakitnya. Suamiku juga memberi sepotong baju untuk Agung, tetapi dia menolak untuk memakainya dan hanya diselempangkan saja di pundaknya. Agung akhirnya pergi dan tidak tahu akan kemana.
Selama 10 tahun saya tinggal di Indonesia seringkali saya melihat orang dengan gangguan jiwa terlantar di jalanan Jakarta. Saya merasa sangat terbatas untuk membantu mereka. Hal ini sangat menghancurkan hatiku, karena adik kandung saya sendiri juga mengalami bi-polar (gangguan jiwa) selama 10 tahun terakhir ini. Keluargaku berkali-kali harus membawanya ke RS. Maka saat saya melihat Agung atau orang seperti Agung di jalan membuat saya sangat sedih, karena adik saya bisa saja seperti mereka itu. Dan sesungguhnya mereka adalah saudara-saudaraku.
Hampir sebulan kejadian dengan Agung, tetapi hal tersebut tidak bisa hilang dari pikiran saya. Bagaimana orang bisa sangat takut dengan “orang gila” seperti Agung. Tetapi hal sederhana yang dilakukan suamiku dengan berlutut dan mencuci kakinya merupakan contoh nyata dari apa yang Yesus sampaikan dan kerjakan di dalam Alkitab. Tuhan Yesus telah terlebih dahulu mencuci kaki kita, Dia telah terlebih dahulu melayani kita. Dan kita sebagai pengikutnya harus meneladani-Nya untuk melayani mereka yang dianggap hina oleh dunia, orang-orang takut kepadanya, mereka dipinggirkan, kotor, najis, berbahaya, dan tidak diinginkan. Tuhan mau agar kita mengenal mereka, menunjukkan kasih kepada mereka, dan membawa harapan bagi mereka.
Kita sebagai orang Kristen sering memakai kata “Agung” untuk Tuhan Yesus. Buat saya ini sangat “nyambung” dengan kejadian bagaimana suamiku mencuci kaki Agung. Saat itu suamiku sedang menjukkan kasihnya kepada Tuhan Yesus yang Agung. Dimana Ia menyatakan bahwa kita dapat menemui Yesus saat kita melakukan sesuatu untuk orang yang paling hina (Matius 25).
Kami masih sering melihat Agung setiap hari lewat di depan rumah kami. Dia tidak memakai kaos yang diberikan suamiku, dan tetap menggantungnya di pundaknya. Kami tidak tahu apa yang dipikirkannya, tetapi kami berharap dia tahu bahwa kami peduli kepadanya.
Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Matius 25:40 TB
Tags: